Welcome

Let's Imagine With Me (Chery_Moon / e.k.Rahadian)

You Can View All Of Your Life

Istana Cerpen

cerpen kompas

TIGA DETIK

Jumat, 27 Mei 2016

            “Katakan padaku Ki, apa yang harus aku lakukan?!” Shela memelas meminta pertimbangan, tidak tidak.. mungkin yang dia butuhkan adalah pencerahan atau prespektif lain sebagai dasar bahan berfikirnya.
            “Tanyakan pada dirimu sendiri She, jawaban ada padamu. Menerima atau menolaknya” Kia mencoba menjawab dengan kalimat yang ingin Shela dengar, bukan mengarahkan pada yang Kia inginkan.
            “Mana mungkin aku menolaknya. Abah bisa sangat marah padaku. Tapi aku juga tidak bisa menerima perjodohan seperti ini” Shela menimpali. Mengeluarkan apa yang kini membebani pikiran dan hatinya. Hati? Entahlah apakah hal ini juga masuk dalam pertimbangan hatinya atau tidak. Karena sejak Kia mengenal Shela dan semakin dekat dan semakin dekat, Kia tahu bahwa sahabatnya satu ini lebih sering memanjakan ego dan logikanya daripada hati. Karena memang Shela terkadang kurang peka dan seperti gadis kecil yang asyik dengan mainannya.
            “Jika kamu menolaknya, jelaskan dengan kalimat yang baik pada Abahmu. Jika kamu menerimanya, berlakulah yang baik di depan lelakimu” Kia menambahkan. Bukannya tidak mau ambil pusing. Kia kembalikan segala keputusan pada Shela. Karena Shela yang berhak memutuskan. Toh Shela sudah dewasa dan memiliki kecerdasan untuk memilah dan memilih mana baik mana buruk. Mana pantas mana tidak pantas.
          
  “Aku akan memikirkannya semalaman ini. Entah aku bisa tidur pulas atau tidak nanti malam. Kamu yang kerjakan tugas ya. Aku contek besok di kampus” pintanya dengan mata memelas.
Kia juga memikirkan apa yang sedang dihadapi sahabatnya. Semalaman. Bahkan mungkin pikirannya lebih dalam dari Shela. Anak gadis mana yang mau cintanya ditentukan bahkan oleh orang tuanya sendiri. Mungkin aku juga tidak terima jika hal itu terjadi padaku. Beruntung aku punya Ayah dan Ibu penuh pengertian dan kepercayaan. Kia melambungkan fikirannya jauh menyentuh langit malam. Rasa penasaran menggeliat membuat geli hati, jawaban apa yang akan di putuskan oleh Shela. Apakah dia akan mengambil keputusan dengan mengikuti egonya atau dengan keputusan yang bijak. Bagaimana reaksi Abahnya nanti? Mungkinkah Shela sudah mendapatkan jawaban itu besok?. Kia tidak hanya kelewat khawatir pada Shela, tapi juga amat penasaran dengan apa yang akan terjadi nanti. Sungguh seumur hidupnya Kia hanya melihat kejadian seperti ini dalam ftv saja. Sudahlah, fikiran ini akan melelahkan dan tidak akan ada akhir. Lihat saja besok. Tukasnya dalam hati. Dan malam sudah merenggut kesadarannya dalam lelap.
Kampus masih sepi dan Shela sudah menunggu Kia di kantin. Area parkir terlihat sangat luas karena belum terisi barisan motor, dan terasa sedikit jauh dari biasanya. Kia berjalan terburu karena tidak ingin membuat Shela menunggunya terlalu lama. Aku yakin dia hanya ingin segera menyalin tugas. Batin Kia menebak-nebak. Benar saja, bahkan kantinpun belum buka karena memang masih sangat pagi dan Shela sudah nangkring dengan selembar kertas tugas dengan pena di tangannya.
            “Bagaimana renunganmu semalam?” Tanya Kia ditengah-tengah kesibukan Shela menyalin jawaban.
            “Aku yakin kamu juga tidak berhenti memikirkannya kan Ki? Aku semalam tidur terlalu cepat. Dan kamu harus tau apa yang dikatakan Abah kemarin”
            “Apa yang dikatakan Abahmu?” sahut Kia penasaran namun dengan reaksi biasa. Benar kan, anak ini tidak akan memikirkan hal seserius apapun dalam-dalam. Hanya lewat saja di fikiran. Makanya dia masih bisa tidur cepat semalam. Batin Kia menimpali.
            “Abah bilang, cowok itu akan datang bersama orangtuanya malam ini. Nah, soal terima atau tidak akan tetap menjadi keputusanku. Itu yang membuatku tidur cepat dan nyenyak semalam. Abah memberiku wewenang. Dan kamu tau apa keputusanku? Aku akan menolaknya” jawab Shela enteng sambil terus menggerakkan penanya.
            “Kenapa kamu sudah memutuskan menolaknya? Sedangkan kamu akan bertemu dengannya nanti malam. Lihatlah dulu dan berkenalanlah dulu seperti yang Abahmu mau. Pikirkan. Dia pilihan Abahmu, jadi tidak akan seburuk seperti yang kamu bayangkan” Kia menjelaskan dengan bahasa seringan mungkin agar dapat diterima dengan baik oleh sahabatnya.
            “Kamu ada benarnya sih. Sebenarnya aku hanya keberatan dengan judul perjodohan itu saja dan meragukan pilihan Abah. Tapi kalo nanti dia ganteng, tinggi, putih, mapan, emmm punya mobil juga, mungkin aku akan menerimanya. Hihihi. Menurutmu aku salah sudah menentukan keputusan sebelum bertemu dengannya?”
Kia mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban isyarat. Artinya bisa –iya- bisa juga –terserah kamu- biarlah Shela berfikir sendiri. Dia sudah mahasiswi tingkat 3. Pasti mampu memahami.
            “Kamu pernah jatuh cinta Ki?” Sepi beberapa detik lenyap oleh celetukan Shela. Serasa dicubit atau di jitak Kia tersentak seketika. Dan sepersekian detik Kia sudah mampu mengendalikan dirinya. Ingatannya melayang pada masa lalu. Dulu sekali. Bahkan sebelum ia menjadi mahasiswi. Sebelum ia mengenal Shela dan teman-teman lainnya. Cintanya pernah jatuh pada sesosok lelaki yang tak dikenal sebelumnya.
            “Tidak”
            “Jangan bohong. Kamu itu seperti sedang LDR atau ditinggal mati pacarmu. Soalnya kamu tidak pernah terlihat tertarik pada seorangpun mahasiswa disini, atau dosen muda terganteng sekalipun. Atau kamu juga sudah di jodohkan? Kamu seperti sedang menunggu Ki, atau mungkin menjaga hatimu untuk seseorang yang entah siapa”
Kia terdiam, melayani memori yang mencuat cuat minta di ingat. Dion. Dulu sekali. Entah siapa yang menemukan siapa. Dion bilang ia memandangi dan memperhatikan Kia sejak mereka berada di bus yang sama. Kia berdiri diantara orang orang yang berjejal. Dan Dion duduk dibangku paling belakang. Matanya tidak berpaling. Terpusat pada satu titik, yaitu Kia.
            “Apa yang kamu lihat?” Tanya Kia saat mereka duduk di bangku terminal. Saling membelakangi.
            “Kamu berdiri dengan jarak beberapa langkah saja didepanku. Biasanya seseorang akan terasa saat sedang diperhatikan orang lain, atau biasanya cewek akan salah tingkah saat dipandangi cowok tapi kamu tidak. Buktinya kamu tidak menoleh sekalipun saat aku memperhatikanmu dari bangku belakang. Kamu seperti sibuk dengan lagu yang kamu nyanyikan sendiri. Dan sibuk melihat keluar jendela” Dion menjelaskan. Dan seperti takdir, Dion selalu menunggunya di bangku terminal yang sama. Menunggu Kia muncul dari balik lorong pintu masuk terminal. Dan berada di bus yang sama dibanyak minggu setelah itu. Hingga suatu ketika bus terkena macet di tengah-tengah hujan yang sangat deras. Kalimatnya menggetarkan hati yang sudah lama sendiri.
            “Kamu nggak bisa buka hatimu?” Dion menanyakan hal yang tidak bisa dijawab seketika. Dion sudah tau masa lalu Kia tentang Awan, kekasih Kia yang mengalah pada kematian. Dan meninggalkan Kia bersama reruntuhan harapan masa depan. “Aku nggak bisa cinta sama orang lain lagi” jawab Kia tanpa berfikir karena memang itu adalah jawaban mutlak tanpa perlu difikirkan kembali.
            “Jangan menjadikan hidupmu seperti cerita cinta cintaan di ftv yang sering kamu tonton. Coba fikir, kamu sudah sia-sia begitu lama. Menunggu bahkan setia pada orang yang sudah mati. Tuhan berhak mencabut nyawa pacarmu. Karena dia memang sudah ditakdirkan mati. Tapi kamu, tidak bisa terus seperti ini. Apa kamu mau ikutan mati juga?” kalimatnya serasa menyayat. Begitu pedih dan dalam hingga ke relung. Mengorek sakit tentang kenangan kematian Awan setahun silam. “Fikirkan hidupmu. Kamu belum mati. Rajutlah lagi masa depan dengan seseorang yang mencintaimu”
            “Gimana kalo kita pacaran” jawab Kia seketika membuat Dion tergagap. Tanpa memandang, tanpa ekspresi mengatakan hal yang mungkin saja membuat jantung Dion bergemuruh. Mungkin dengan mencoba menjalin hubungan dengan orang lain, Kia bisa sedikit demi sedikit mampu melupakan Awan. Pikirnya. Toh, cinta bisa datang karena terbiasa seperti yang orang-orang bilang. Bisa saja suatu saat Kia jatuh cinta pada Dion.
“Nggak mau” tanpa berfikir Dion menjawab dengan tegas.
“Ya sudah lah” sahut Kia menimpali tanpa rasa kecewa yang berarti. Toh Kia hanya coba-coba.
“Barusan kamu bilang kamu nggak bisa cinta sama orang lain lagi. Sedetik tadi kamu bilang gimana kalo kita pacaran. Aku nggak bisa main-main, aku serius” jawabannya menggambarkan kekesalan tapi tidak serta merta melukai hati Kia yang memang sudah luka.
            “Oke. Sekarang maunya gimana?”
            “Jadian?”
            “oke. Kita jadian” akhirnya Kia memutuskan. Menerima uluran tangan Dion. Digelapnya malam dalam kemacetan dan ditengah derasnya hujan didalam bus kota. Dan Dion merubah kelam menjadi jingga, merah, kuning, biru bahkan ungu. Hingga di jadikannya lagi menjadi hitam dan berkali kali lipat menjadi kelam.
            “Ki. Ki! Hei! Ayook ke kelas”
            “eh oke oke” lamunannya pecah.
Kia terngiang-ngiang kalimat Shela pagi tadi. Seperti menyadarkannya pada sebuah kenyataan. Bahkan Kia tidak percaya kalimat itu keluar dari mulut Shela yang biasanya tidak pernah ambil pusing. Kia mengingat hatinya penuh dengan kecewa. Pertama, Awan yang pergi dengan segala harapan masa depan karena kematian. Dan yang kedua, Dion pergi dengan sakit berkali lipat karena gadis lain setelah membuatnya benar-benar jatuh cinta setengah hidupnya. Baginya tidak ada akhir yang indah. Harapan masa depannya selalu hancur bersama perginya cinta dan menyisakan luka yang tidak pernah kering.
            Biar aku sendiri. Menahan seseorang bernama Dion tetap dihatiku, sejak dulu, duluu sekali. Sejak aku merelakan hatiku mencintainya dan menerima sakit karena penghianatannya. Aku masih mencintainya. Juga menunggu. Entah dengan siapa kini ia mencintai. Entah siapa yang mengingatkannya makan. Hatiku terus mau menunggunya. Menantikan menangkap rautnya barang tiga detik saja. “Shela akan bercerita banyak besok. Aku harus tidur nyenyak malam ini”
            “Kamu yakin She? Jangan terburu-buru mengambil keputusan. Bahkan baru semalam. Baru berapa jam. Dan kamu sudah sangat yakin dengan keputusan itu” Kia merepet pertanyaan. Bertubi-tubi khusus untuk Shela yang tidak ada angin tidak ada hujan mengganti jawaban A menjadi B.
            “Aduh Ki.. kamu nggak tau dia sih. Dia itu dewasa banget. Udah ganteng, tinggi, dan kerja di bank lho. Sudah pasti mapan kan. Dan dia juga punya mobil. Hihihi. Aku nggak salah kan Ki. Menurutku semua itu sudah cocok dengan kriteria ku. Gimana menurutmu?” jawabnya penuh semangat dengan mata yang lebih berkilau dari bintang semalam.
            “Kemaren kamu baru bilang nggak suka di jodohkan dan akan menolaknya. Sekarang kamu ..”
            “Itu kan kemaren sebelum kami ketemu Ki. Kan kamu yang bilang kami emang musti kenalan dulu” Shela memotong kalimat Kia tanpa sungkan.
            “Kamu udah bisa cinta dia secepat ini?”
            “Udahlah Ki. Ntar lama-lama juga aku bakal jatuh cinta. Kan cinta bisa tumbuh dengan sendirinya. Yang penting dia ganteng dan punya mobil biarpun nggak terlalu putih sih tapi yaaah masih oke laah”
            “Kalo kamu bahagia. Aku juga bahagia She. Kamu nggak perlu pertimbangkan pendapatku kalo kamu sudah cukup yakin dengan keputusanmu. Apapun itu aku akan mendukungmu” jawaban Kia menenangkan Shela yang sedang berbunga-bunga karena sudah menemukan jodohnya.
            “Oke, kami bakal lamaran minggu depan. Dan kamis depannya lagi akad. Makasih Ki.. aku sayang kamu. Kamu datang ya di acara akad” dipeluknya Kia dengan erat. Kia merasakan aura bahagianya. Meskipun terasa begitu cepat untuk Kia tapi sahabatnya bahagia.
            “Pasti She”
Acara akad dipersiapkan sekenanya. Tidak terlalu banyak tamu yang datang karena memang hanya akan melaksanakan ijab qobul saja. Kia rela tidak kuliah hari ini demi sahabatnya. Tapi teman-teman yang lain masih belum tau bahwa Shela akan melepas single nya hari ini. Shela beberapa kali menelpon Kia mengingatkan untuk tidak terlambat datang. Terbayang betapa grogi sahabatnya. Dan betapa bahagianya ia menjadi istri sebentar lagi. “Kami emang belum kenal sebelumnya tapi kami bisa pacaran setelah menikah kan. Kata Abah menghindari dosa. Hihi” kalimat Shela kala itu.
Kia memasuki rumah Shela disambut Abah dan keluarga yang lain. “Masuk nak, temuilah Shela di atas, dia sangat grogi dan terus menanyakanmu” kata Abah. “Iya Bah, Kia ke atas dulu ya”
Bukannya kamar Shela ada di bawah? Ah sudahlah. Hanya ada 4 kamar di atas, dimana yang ramai disitulah Shela berada. Batin Kia sambil menaiki tangga. Sampai di lantai dua. Dua kamar terlihat ada lalu lalang. Kia memilih menghampiri kamar yang paling dekat terlebih dulu. Pintunya tidak tertutup. Kia langsung saja masuk tanpa permisi. Tidak terlihat Shela disana. Namun seseorang menatapnya lekat-lekat dari ujung kamar di dekat jendela dengan gorden putih yang menerawang mengizinkan cahaya mentari menerangi ruangan. Kia terpaku. Tanpa kata, tanpa mampu bergerak bahkan beranjak. Seseorang itu perlahan berjalan ke arahnya dengan balutan tuksedo hitam dengan saputangan merah terselip disaku dadanya. Dia tidak asing. Bahkan tidak berubah sedikitpun.
            “Kia”
Dia! mempelai pria. Berdiri tepat dihadapan Kia. Aroma yang sama. Potongan rambut yang sama. Tatapan yang sama meski terlihat penuh ketegangan. Bahkan suara itu masih sama seperti pertama Kia bertemu dulu. Duluuu sekali.
            “Kia. Kamu disini?” ia bersuara lagi. Membangunkan angannya tentang –dulu-
            “Ya. Shela, dia sahabatku. Teman sekampus” jawab Kia sekenanya.
            “Ki. aku minta maaf. Aku tidak tau ka ..”
            “Tidak tidak.. sudah. Lupakan saja. Itu sudah dulu sekali. Dan ini adalah sekarang. Aku.. Aku..” tidak sampai kalimatnya selesai. Mata itu sudah deras meneteskan kesakitan yang sudah begitu lama. Tiga detik itu sudah terkabul. Bahkan lebih dari tiga detik. Tapi haruskah disituasi seperti ini? Kia susah payah menahan perasaan, mengendalikan dirinya kembali normal. Sudahlah Dion. Jangan berpura-pura peduli dengan masa lalu lagi.
            “Kiaa.. kamu sudah datang…” Shela datang segera memeluk Kia erat. Tangisnya pecah tak terbendung barang setetes saja. “Kenapa menangis seperti ini? Hei?” Shela sedikit bingung.
            “Shee.. kamu akan menikah sebentar lagi. Aku bahagiaa” Kia beralasan. Bahkan Shela bisa membuka hati sepenuhnya untuk lelaki ini pada pandangan pertama.
            “Kii… makasih yaa. Lihat-lihat! Ini Dion. Dion ini Kia sahabatku yang paaaling baik. Sudah… aku kan mau menikah. Bukan mau mati. Cukup nangis-nangisnya” tambahnya. Dion menatapnya dalam. Dion tau gadis didepannya ini sedang berusaha menutupi sakit yang ia buat. Gadis yang berusaha kuat meski ia sedang sekarat.
            “Selamat Dion. Selamat ya She. Aku menyayangimu” sahut Kia.
            “emmm makasih ya sayang. Bentar ya. Aku ambil bunga disitu dulu”
Shela pergi. Kia mengikuti di belakangnya dengan seketika tangannya tertahan oleh cengkraman. Dion.
            “Ki, jangan ceritakan hal itu pada Shela. Aku mohon”
            “Jangan khawatir”
            “Terimakasih”
            “Jangan melakukan hal yang sama pada Shela. Cukup padaku saja. Bahagiakan Shela. Perlakukan dia seperti yang dia minta. Dia akan mencintaimu dengan hatinya” Kia berbalik. Langkahnya bebas. Tidak tertahan oleh cengkraman lagi. Lukanya menganga namun ia tidak peduli. Itu dulu. Duluu sekali.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Lorem

Ipsum

poem (20) last (8) imagine (4) miss u (4) tentang hujan (4) Arum Manis (2) flsh back (2) hope (2) dulu (1) duluu sekali (1)

Dolor

poem (20) last (8) imagine (4) miss u (4) tentang hujan (4) Arum Manis (2) flsh back (2) hope (2)