
“Mana
mungkin aku menolaknya. Abah bisa sangat marah padaku. Tapi aku juga tidak bisa
menerima perjodohan seperti ini” Shela menimpali. Mengeluarkan apa yang kini
membebani pikiran dan hatinya. Hati? Entahlah apakah hal ini juga masuk dalam
pertimbangan hatinya atau tidak. Karena sejak Kia mengenal Shela dan semakin
dekat dan semakin dekat, Kia tahu bahwa sahabatnya satu ini lebih sering
memanjakan ego dan logikanya daripada hati. Karena memang Shela terkadang
kurang peka dan seperti gadis kecil yang asyik dengan mainannya.
“Jika
kamu menolaknya, jelaskan dengan kalimat yang baik pada Abahmu. Jika kamu
menerimanya, berlakulah yang baik di depan lelakimu” Kia menambahkan. Bukannya
tidak mau ambil pusing. Kia kembalikan segala keputusan pada Shela. Karena
Shela yang berhak memutuskan. Toh Shela sudah dewasa dan memiliki kecerdasan
untuk memilah dan memilih mana baik mana buruk. Mana pantas mana tidak pantas.
Kia juga memikirkan apa yang sedang dihadapi
sahabatnya. Semalaman. Bahkan mungkin pikirannya lebih dalam dari Shela. Anak gadis mana yang mau cintanya ditentukan
bahkan oleh orang tuanya sendiri. Mungkin aku juga tidak terima jika hal itu
terjadi padaku. Beruntung aku punya Ayah dan Ibu penuh pengertian dan
kepercayaan. Kia melambungkan fikirannya jauh menyentuh langit malam. Rasa
penasaran menggeliat membuat geli hati,
jawaban apa yang akan di putuskan oleh Shela. Apakah dia akan mengambil
keputusan dengan mengikuti egonya atau dengan keputusan yang bijak. Bagaimana
reaksi Abahnya nanti? Mungkinkah Shela sudah mendapatkan jawaban itu besok?.
Kia tidak hanya kelewat khawatir pada Shela, tapi juga amat penasaran dengan
apa yang akan terjadi nanti. Sungguh seumur hidupnya Kia hanya melihat kejadian
seperti ini dalam ftv saja. Sudahlah,
fikiran ini akan melelahkan dan tidak akan ada akhir. Lihat saja besok.
Tukasnya dalam hati. Dan malam sudah merenggut kesadarannya dalam lelap.
Kampus masih sepi dan Shela sudah menunggu Kia di
kantin. Area parkir terlihat sangat luas karena belum terisi barisan motor, dan
terasa sedikit jauh dari biasanya. Kia berjalan terburu karena tidak ingin
membuat Shela menunggunya terlalu lama. Aku
yakin dia hanya ingin segera menyalin tugas. Batin Kia menebak-nebak. Benar
saja, bahkan kantinpun belum buka karena memang masih sangat pagi dan Shela
sudah nangkring dengan selembar kertas tugas dengan pena di tangannya.
“Bagaimana
renunganmu semalam?” Tanya Kia ditengah-tengah kesibukan Shela menyalin
jawaban.
“Aku
yakin kamu juga tidak berhenti memikirkannya kan Ki? Aku semalam tidur terlalu
cepat. Dan kamu harus tau apa yang dikatakan Abah kemarin”
“Apa
yang dikatakan Abahmu?” sahut Kia penasaran namun dengan reaksi biasa. Benar kan, anak ini tidak akan memikirkan
hal seserius apapun dalam-dalam. Hanya lewat saja di fikiran. Makanya dia masih
bisa tidur cepat semalam. Batin Kia menimpali.
“Abah
bilang, cowok itu akan datang bersama orangtuanya malam ini. Nah, soal terima
atau tidak akan tetap menjadi keputusanku. Itu yang membuatku tidur cepat dan
nyenyak semalam. Abah memberiku wewenang. Dan kamu tau apa keputusanku? Aku
akan menolaknya” jawab Shela enteng sambil terus menggerakkan penanya.
“Kenapa
kamu sudah memutuskan menolaknya? Sedangkan kamu akan bertemu dengannya nanti
malam. Lihatlah dulu dan berkenalanlah dulu seperti yang Abahmu mau. Pikirkan.
Dia pilihan Abahmu, jadi tidak akan seburuk seperti yang kamu bayangkan” Kia
menjelaskan dengan bahasa seringan mungkin agar dapat diterima dengan baik oleh
sahabatnya.
“Kamu
ada benarnya sih. Sebenarnya aku hanya keberatan dengan judul perjodohan itu
saja dan meragukan pilihan Abah. Tapi kalo nanti dia ganteng, tinggi, putih,
mapan, emmm punya mobil juga, mungkin aku akan menerimanya. Hihihi. Menurutmu
aku salah sudah menentukan keputusan sebelum bertemu dengannya?”
Kia mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban isyarat.
Artinya bisa –iya- bisa juga –terserah kamu- biarlah Shela berfikir sendiri.
Dia sudah mahasiswi tingkat 3. Pasti mampu memahami.
“Kamu
pernah jatuh cinta Ki?” Sepi beberapa detik lenyap oleh celetukan Shela. Serasa
dicubit atau di jitak Kia tersentak seketika. Dan sepersekian detik Kia sudah
mampu mengendalikan dirinya. Ingatannya melayang pada masa lalu. Dulu sekali.
Bahkan sebelum ia menjadi mahasiswi. Sebelum ia mengenal Shela dan teman-teman
lainnya. Cintanya pernah jatuh pada sesosok lelaki yang tak dikenal sebelumnya.
“Tidak”
“Jangan
bohong. Kamu itu seperti sedang LDR atau ditinggal mati pacarmu. Soalnya kamu
tidak pernah terlihat tertarik pada seorangpun mahasiswa disini, atau dosen
muda terganteng sekalipun. Atau kamu juga sudah di jodohkan? Kamu seperti
sedang menunggu Ki, atau mungkin menjaga hatimu untuk seseorang yang entah
siapa”
Kia terdiam, melayani memori yang mencuat cuat minta
di ingat. Dion. Dulu sekali. Entah siapa yang menemukan siapa. Dion bilang ia memandangi
dan memperhatikan Kia sejak mereka berada di bus yang sama. Kia berdiri
diantara orang orang yang berjejal. Dan Dion duduk dibangku paling belakang. Matanya
tidak berpaling. Terpusat pada satu titik, yaitu Kia.
“Apa
yang kamu lihat?” Tanya Kia saat mereka duduk di bangku terminal. Saling
membelakangi.
“Kamu
berdiri dengan jarak beberapa langkah saja didepanku. Biasanya seseorang akan
terasa saat sedang diperhatikan orang lain, atau biasanya cewek akan salah
tingkah saat dipandangi cowok tapi kamu tidak. Buktinya kamu tidak menoleh
sekalipun saat aku memperhatikanmu dari bangku belakang. Kamu seperti sibuk
dengan lagu yang kamu nyanyikan sendiri. Dan sibuk melihat keluar jendela” Dion
menjelaskan. Dan seperti takdir, Dion selalu menunggunya di bangku terminal
yang sama. Menunggu Kia muncul dari balik lorong pintu masuk terminal. Dan
berada di bus yang sama dibanyak minggu setelah itu. Hingga suatu ketika bus
terkena macet di tengah-tengah hujan yang sangat deras. Kalimatnya menggetarkan
hati yang sudah lama sendiri.
“Kamu
nggak bisa buka hatimu?” Dion menanyakan hal yang tidak bisa dijawab seketika.
Dion sudah tau masa lalu Kia tentang Awan, kekasih Kia yang mengalah pada
kematian. Dan meninggalkan Kia bersama reruntuhan harapan masa depan. “Aku
nggak bisa cinta sama orang lain lagi” jawab Kia tanpa berfikir karena memang
itu adalah jawaban mutlak tanpa perlu difikirkan kembali.
“Jangan
menjadikan hidupmu seperti cerita cinta cintaan di ftv yang sering kamu tonton.
Coba fikir, kamu sudah sia-sia begitu lama. Menunggu bahkan setia pada orang
yang sudah mati. Tuhan berhak mencabut nyawa pacarmu. Karena dia memang sudah
ditakdirkan mati. Tapi kamu, tidak bisa terus seperti ini. Apa kamu mau ikutan
mati juga?” kalimatnya serasa menyayat. Begitu pedih dan dalam hingga ke
relung. Mengorek sakit tentang kenangan kematian Awan setahun silam. “Fikirkan
hidupmu. Kamu belum mati. Rajutlah lagi masa depan dengan seseorang yang
mencintaimu”
“Gimana
kalo kita pacaran” jawab Kia seketika membuat Dion tergagap. Tanpa memandang,
tanpa ekspresi mengatakan hal yang mungkin saja membuat jantung Dion bergemuruh.
Mungkin dengan mencoba menjalin hubungan dengan orang lain, Kia bisa sedikit
demi sedikit mampu melupakan Awan. Pikirnya. Toh, cinta bisa datang karena
terbiasa seperti yang orang-orang bilang. Bisa saja suatu saat Kia jatuh cinta
pada Dion.
“Nggak mau” tanpa berfikir Dion menjawab dengan tegas.
“Ya sudah lah” sahut Kia menimpali tanpa rasa kecewa
yang berarti. Toh Kia hanya coba-coba.
“Barusan kamu bilang kamu nggak bisa cinta sama orang
lain lagi. Sedetik tadi kamu bilang gimana kalo kita pacaran. Aku nggak bisa
main-main, aku serius” jawabannya menggambarkan kekesalan tapi tidak serta
merta melukai hati Kia yang memang sudah luka.
“Oke.
Sekarang maunya gimana?”
“Jadian?”
“oke.
Kita jadian” akhirnya Kia memutuskan. Menerima uluran tangan Dion. Digelapnya
malam dalam kemacetan dan ditengah derasnya hujan didalam bus kota. Dan Dion
merubah kelam menjadi jingga, merah, kuning, biru bahkan ungu. Hingga di
jadikannya lagi menjadi hitam dan berkali kali lipat menjadi kelam.
“Ki.
Ki! Hei! Ayook ke kelas”
“eh
oke oke” lamunannya pecah.
Kia terngiang-ngiang kalimat Shela pagi tadi. Seperti
menyadarkannya pada sebuah kenyataan. Bahkan Kia tidak percaya kalimat itu
keluar dari mulut Shela yang biasanya tidak pernah ambil pusing. Kia mengingat
hatinya penuh dengan kecewa. Pertama, Awan yang pergi dengan segala harapan
masa depan karena kematian. Dan yang kedua, Dion pergi dengan sakit berkali
lipat karena gadis lain setelah membuatnya benar-benar jatuh cinta setengah
hidupnya. Baginya tidak ada akhir yang indah. Harapan masa depannya selalu
hancur bersama perginya cinta dan menyisakan luka yang tidak pernah kering.
Biar aku sendiri. Menahan seseorang bernama Dion tetap
dihatiku, sejak dulu, duluu sekali. Sejak aku merelakan hatiku mencintainya dan
menerima sakit karena penghianatannya. Aku masih mencintainya. Juga menunggu.
Entah dengan siapa kini ia mencintai. Entah siapa yang mengingatkannya makan.
Hatiku terus mau menunggunya. Menantikan menangkap rautnya barang tiga detik
saja. “Shela akan
bercerita banyak besok. Aku harus tidur nyenyak malam ini”
“Kamu
yakin She? Jangan terburu-buru mengambil keputusan. Bahkan baru semalam. Baru
berapa jam. Dan kamu sudah sangat yakin dengan keputusan itu” Kia merepet
pertanyaan. Bertubi-tubi khusus untuk Shela yang tidak ada angin tidak ada
hujan mengganti jawaban A menjadi B.
“Aduh
Ki.. kamu nggak tau dia sih. Dia itu dewasa banget. Udah ganteng, tinggi, dan
kerja di bank lho. Sudah pasti mapan kan. Dan dia juga punya mobil. Hihihi. Aku
nggak salah kan Ki. Menurutku semua itu sudah cocok dengan kriteria ku. Gimana
menurutmu?” jawabnya penuh semangat dengan mata yang lebih berkilau dari
bintang semalam.
“Kemaren
kamu baru bilang nggak suka di jodohkan dan akan menolaknya. Sekarang kamu ..”
“Itu
kan kemaren sebelum kami ketemu Ki. Kan kamu yang bilang kami emang musti
kenalan dulu” Shela memotong kalimat Kia tanpa sungkan.
“Kamu
udah bisa cinta dia secepat ini?”
“Udahlah
Ki. Ntar lama-lama juga aku bakal jatuh cinta. Kan cinta bisa tumbuh dengan
sendirinya. Yang penting dia ganteng dan punya mobil biarpun nggak terlalu
putih sih tapi yaaah masih oke laah”
“Kalo
kamu bahagia. Aku juga bahagia She. Kamu nggak perlu pertimbangkan pendapatku
kalo kamu sudah cukup yakin dengan keputusanmu. Apapun itu aku akan
mendukungmu” jawaban Kia menenangkan Shela yang sedang berbunga-bunga karena sudah
menemukan jodohnya.
“Oke,
kami bakal lamaran minggu depan. Dan kamis depannya lagi akad. Makasih Ki.. aku
sayang kamu. Kamu datang ya di acara akad” dipeluknya Kia dengan erat. Kia
merasakan aura bahagianya. Meskipun terasa begitu cepat untuk Kia tapi sahabatnya
bahagia.
“Pasti
She”
Acara akad dipersiapkan sekenanya. Tidak terlalu
banyak tamu yang datang karena memang hanya akan melaksanakan ijab qobul saja.
Kia rela tidak kuliah hari ini demi sahabatnya. Tapi teman-teman yang lain
masih belum tau bahwa Shela akan melepas single
nya hari ini. Shela beberapa kali menelpon Kia mengingatkan untuk tidak
terlambat datang. Terbayang betapa grogi sahabatnya. Dan betapa bahagianya ia
menjadi istri sebentar lagi. “Kami emang belum kenal sebelumnya tapi kami bisa
pacaran setelah menikah kan. Kata Abah menghindari dosa. Hihi” kalimat Shela
kala itu.
Kia memasuki rumah Shela disambut Abah dan keluarga
yang lain. “Masuk nak, temuilah Shela di atas, dia sangat grogi dan terus
menanyakanmu” kata Abah. “Iya Bah, Kia ke atas dulu ya”
Bukannya kamar Shela ada di bawah? Ah sudahlah. Hanya
ada 4 kamar di atas, dimana yang ramai disitulah Shela berada. Batin Kia sambil
menaiki tangga. Sampai di lantai dua. Dua kamar terlihat ada lalu lalang. Kia
memilih menghampiri kamar yang paling dekat terlebih dulu. Pintunya tidak
tertutup. Kia langsung saja masuk tanpa permisi. Tidak terlihat Shela disana.
Namun seseorang menatapnya lekat-lekat dari ujung kamar di dekat jendela dengan
gorden putih yang menerawang mengizinkan cahaya mentari menerangi ruangan. Kia
terpaku. Tanpa kata, tanpa mampu bergerak bahkan beranjak. Seseorang itu
perlahan berjalan ke arahnya dengan balutan tuksedo hitam dengan saputangan
merah terselip disaku dadanya. Dia tidak asing. Bahkan tidak berubah
sedikitpun.
“Kia”
Dia! mempelai pria. Berdiri tepat dihadapan Kia. Aroma
yang sama. Potongan rambut yang sama. Tatapan yang sama meski terlihat penuh
ketegangan. Bahkan suara itu masih sama seperti pertama Kia bertemu dulu.
Duluuu sekali.
“Kia.
Kamu disini?” ia bersuara lagi. Membangunkan angannya tentang –dulu-
“Ya.
Shela, dia sahabatku. Teman sekampus” jawab Kia sekenanya.
“Ki.
aku minta maaf. Aku tidak tau ka ..”
“Tidak
tidak.. sudah. Lupakan saja. Itu sudah dulu sekali. Dan ini adalah sekarang.
Aku.. Aku..” tidak sampai kalimatnya selesai. Mata itu sudah deras meneteskan
kesakitan yang sudah begitu lama. Tiga detik itu sudah terkabul. Bahkan lebih
dari tiga detik. Tapi haruskah disituasi seperti ini? Kia susah payah menahan
perasaan, mengendalikan dirinya kembali normal. Sudahlah Dion. Jangan berpura-pura
peduli dengan masa lalu lagi.
“Kiaa..
kamu sudah datang…” Shela datang segera memeluk Kia erat. Tangisnya pecah tak
terbendung barang setetes saja. “Kenapa menangis seperti ini? Hei?” Shela
sedikit bingung.
“Shee..
kamu akan menikah sebentar lagi. Aku bahagiaa” Kia beralasan. Bahkan Shela bisa
membuka hati sepenuhnya untuk lelaki ini pada pandangan pertama.
“Kii…
makasih yaa. Lihat-lihat! Ini Dion. Dion ini Kia sahabatku yang paaaling baik.
Sudah… aku kan mau menikah. Bukan mau mati. Cukup nangis-nangisnya” tambahnya.
Dion menatapnya dalam. Dion tau gadis didepannya ini sedang berusaha menutupi
sakit yang ia buat. Gadis yang berusaha kuat meski ia sedang sekarat.
“Selamat
Dion. Selamat ya She. Aku menyayangimu” sahut Kia.
“emmm
makasih ya sayang. Bentar ya. Aku ambil bunga disitu dulu”
Shela pergi. Kia mengikuti di belakangnya dengan
seketika tangannya tertahan oleh cengkraman. Dion.
“Ki,
jangan ceritakan hal itu pada Shela. Aku mohon”
“Jangan
khawatir”
“Terimakasih”
“Jangan melakukan hal yang sama pada
Shela. Cukup padaku saja. Bahagiakan Shela. Perlakukan dia seperti yang dia
minta. Dia akan mencintaimu dengan hatinya” Kia berbalik. Langkahnya bebas.
Tidak tertahan oleh cengkraman lagi. Lukanya menganga namun ia tidak peduli.
Itu dulu. Duluu sekali.
0 komentar:
Posting Komentar