Kali
ini dia mengencani ku masih dengan memakai sepatu kanvas dan jins yang
sepertinya itu jins yang dia pakai seharian di kampus tadi. Aku jadi kesal
setiap kali berjalan dengannya. Aku selalu ingin tampil cantik di depannya,
agar dia tidak malu ketika berjalan denganku. Dan dia seperti tidak
memperdulikan penampilannya sendiri ketika bersamaku.
“seharian
kamu nggak pulang ya?” sindirku.
“pulang. Aku
taruh kanvas dan cat di kamar. Setelah itu mandi dan menjemputmu”
“ooo kamu
sempat mandi” selidikku.
Ini bukan kencan aneh kali pertama. Yang ku tau, dimana-mana
semua pasangan akan mempersembahkan penampilan paling keren dan paling cantik
ketika berkencan. Mungkin hanya aku satu-satunya gadis yang kurang beruntung
karena pacarku tidak bisa berpenampilan yang pantas ketika bersamaku.
Malam ini aku dan Viga hanya berjalan-jalan saja di taman
kota. Sekedar berbincang tentang acara ulang tahunku minggu depan. Aku yang
lebih banyak bicara, sedangkan Viga, tetap seperti biasa. Hanya membumbui
argumen ku saja, hingga dia mengantarkan aku pulang sampai rumah.
“cepat
bersihkan badanmu dan pergi tidur. Jangan begadang karena aku tidak akan
manemanimu”
“kamu
hati-hati di jalan” jawabku ketus. Viga langsung pulang setelah berpamitan
dengan mama.
Aku
bersihkan badan dan langsung rebahan di ranjang. Aku tidak habis fikir.
Bisa-bisanya aku berpacaran dengan cowok seperti Viga. Bukannya menyesal
berpacaran dengannya. Toh dulu aku selalu menginginkannya jadi pacarku. Tapi
kenapa dia tidak bisa seperti pacar teman-temanku yang selalu terlihat keren
ketika mereka bersama. Sedangkan Viga, selalu terlihat .... huh ... aku
membencinya.
Jam 08.00,
aku harus segera ke kampus menemani Viga mempersiapkan Exhibition lukisan karya
anak-anak seni rupa. Aku tidak ingin terlambat. Ah, aku pakai baju yang mana
ya? Serasa seisi lemari tidak ada yang bagus. Aku pakai tas yang mana ya ? uuhh
tas-tas milikku juga tidak ada yang bagus. Aku baru sadar, apa setiap hari aku
pakai asesoris dan tas-tas jelek ini ???
Ah, kenapa
aku heboh, ini kan hanya acara pameran lukis saja. Mungkin pacarku tetap
berpenampilan seperti Viga yang biasanya. Aku yakin pasti tidak ada yang
berubah dengan penampilannya hari ini. Aku berani bertaruh.
“sepertinya
tadi pagi kamu buru-buru, kok sekarang santai-santai ??” Mama menyelidik
“bad mood
ma”
“datanglah
ke acara Viga dengan bersuka cita. Dia akan kecewa kalau melihat mu tidak
bersemangat seperti ini di acara istimewanya” papa berdalih
Hmm seperti
biasa, papa selalu membela Viga apapun keadaannya. Ketimbang membelaku. Entah
apa yang sudah di berikan Viga pada papa. Entah apa yang di lihat papa dari
Viga. Seperti nya papa yang telah jatuh cinta pada Viga. Ah.. menyebalkan.
Pagi ini aku
memakai setelan dress selutut, tas tangan dan sepatu warna pastel dengan
sedikit hak. Aku ingin memberi kesan sedikit formal tapi tetap santai. Karena
ini acara untuk umum dan di mulai pagi hari.
“Viga”
“hai... kamu
cantik hari ini”
“aku selalu
cantik setiap hari” jawabku, sambil mataku menelanjanginya dari bawah ke atas.
Benar-benar. Aku gemas melihatnya. Ini kan acara istimewanya. Disini
lukisan-lukisannya di pamerkan. Seharusnya dia bisa menghargai dirinya dengan
berpenampilan lebih rapi jika dia ingin di hargai juga sebagai anak seni rupa.
Seorang seniman. Tidak seperti ini. Jins yang robek di bagian lutut dan kemeja motif
kotak-kotak yang dia pakai 2 hari yang lalu. Apa dia tidak punya kemeja lain ??
Untung aku
tidak berpenampilan heboh pagi ini.
“Mama dan
papa akan kesini. Melihat lukisan-lukisanmu. Kalau-kalau papa tertarik, akan di
beli”
“bilang saja
papa suka lukisan ku yang mana, akan aku berikan untuknya. Tidak usah di bayar”
“ah, sok sok
an banyak duit. Kalo papa mau bayar ya terima aja. Kan lumayan bisa untuk beli
jins baru atau kemeja baru. Jangan di habiskan hanya untuk beli kanvas dan cat
aja”
“ok,
terserah kamu aja” jawabnya santai. Seperti tidak merasa sudah aku sindir.
Menjelang
hari terakhir sudah beberapa lukisan Viga terjual. Tapi dia tidak mau menjual
dengan harga tinggi. Padahal lukisannya terbilang bagus. Bahkan papa jatuh
cinta dengan beberapa lukisan Viga, tidak hanya satu. Aku heran melihat mereka
berdua. Bagaimana bisa papa bisa senyaman itu dengannya.
“Besok
datanglah lebih awal. Jangan telat ya”
“aku
usahakan selalu tepat waktu. Aku sudah janji padamu sejak minggu lalu, kan”
Diluar
pandanganku dari penampilannya. Aku selalu dan selalu menyukainya. Kata-katanya
yang tulus dan polos. Yang seperti mengikat amarah apapun. Yang selalu ada dan
selalu baik.
“ayo ke
depan. Aku carikan taxi untukmu. Langsung pulang saja. Sudah sore. Jangan buat
papa mama mu khawatir”
“daaaah”
Aku mendapat
taxi, dia membalas dengan senyumannya yang selalu menawan.
Sudah
beberapa jam aku berkutat dengan diriku di depan cermin. Mama masih sibuk untuk
membuatku terlihat istimewa di acara istimewaku tahun ini.
“Ara, anak
mama benar-benar cantik”
“terimakasih
ma. Ini berkat mama juga” aku tersipu di depan cermin. Mama tidak salah, aku
benar-benar berkilau malam ini. Entahlah, mungkin sedikit berlebihan, secara
ini hanya pesta ulang tahun, bukan pertemuan formil dengan dekan kampus. Tapi
aku menyukai dandanan mama untukku.
Aku keluar
ke ruang acara. Beberapa tamu sudah berdatangan. Bergantian menyalamiku dan
memberikan kado warna warni yang cantik. Aku senang sekali. Mereka memuji
dandananku yang selalu cantik. Ini berkat mama. Aku harap Viga mengimbangi ku
malam ini.
“Araa”
Suara itu!
Viga. Aku mencari cari ke arah datangnya suara. Pacarku datang dan ...
Viga terpaku
beberapa saat menatapku,
“selamat
ulang tahun ya sayang. Semoga segala sesuatumu selalu berbarokah”
“terimakasih”
jawabku singkat
Dia membawa
bingkisan persegi panjang. Pasti itu lukisan. Sudah bisa di tebak. Bahkan semua
orang disini akan tau kalau dia salah kostum. Selalu kacau. Sepatu kanvas nya
tidak ia cuci. Ada bercak cat disana sini. Jins nya bukan robek di bagian
lutut, tapi seperti jins tidak pernah di cuci. Warna nya nggak ngetan nggak ngulon. Buluk. Aku kecewa. Dia benar-benar tidak
menghargai aku dan acaraku. Dia tidak berubah sedikitpun. Masih sama seperti
Viga yang aku lihat di kampus setiap hari. Yang selalu pakai baju yang sama.
Aku malu sekali ketika semua mata menatap kami berdua. Sangat tidak seimbang. Percuma aku berdandan
berjam jam untuk terlihat cantik, sedangkan pacarku sendiri tidak berubah
sedikit pun.
Setelah
acara di akhiri, aku tidak menghampirinya sama sekali. Ia masih asyik
berbincang dengan papa di sudut ruangan. Heran, pake pelet apa sih, bahkan papa
tidak pernah terganggu oleh penampilannya. Sedikitpun.
“Ara, aku
ingin bicara”
“pulanglah
sudah malam”
“kemarilah,
ada yang ingin aku bicarakan denganmu”
“apa lagi.
Aku bosan. aku kesal dan kecewa” aku cemberut.
“duduklah”
Aku menurut
saja perintahnya. Kami duduk di ayunan halaman rumah dekat pagar. Sebentar kami
terdiam dan aku mulai kesal.
“aku membencimu
Ga”
“bukankah
aku pacarmu, seharus nya kamu menyukaiku bukan membenciku”
“kamu tau
kenapa sedari tadi aku menjauhimu? Ya karena kamu Ga, kamu ini kenapa tidak
pernah melihat sikon sih. Ini pesta ulang tahun pacarmu, bukan acara kampus
atau sekedar kumpul bareng anak-anak di kantin. Juga bukan pelajaran melukis di
kelas seni rupa. Aku tau kamu seniman yang ingin menunjukkan kebebasan diri.
Tapi apa harus seperti tadi? Kamu nggak bisa lihat, tapi aku dan teman-teman
lain yang menyaksikan betapa mencoloknya penampilan kita malam ini”
“kamu kecewa
dengan penampilanku? Berarti setiap hari kamu ...”
“tidak hanya
kali ini aja. Selalu Ga, di setiap kita kencan, setiap acara kita bersama. Kamu
seperti nggak menghargai aku Ga. Penampilanmu seperti tidak bernilai”
“Ara! Nggak
nyangka kamu ngomong seperti itu. Aku pikir kamu menyukai aku yang biasa.
Ternyata kamu menginginkan aku menjadi seperti pacar teman-temanmu yang lain. kamu
mengharapkan aku yang berbeda”
Viga
berdiri, dia menggandeng tanganku dan mengantarku masuk rumah. Seketika ia
berpamitan dengan mama dan papa tanpa memandangku dia meninggalkan rumah.
Aku
menangis. Aku menterornya, menghakiminya. Kenapa jadi aku yang merasa
tersinggung dan sakit hati. Viga pergi begitu saja. Ya Tuhan apa yang sudah aku
lakukan padanya.
Berhari hari
setelah malam itu, aku seperti tidak punya pacar. Viga tidak pernah
menghubungiku lagi. Tidak pernah terlihat di kampus, tidak pernah bermain catur
lagi dengan papa di teras rumah.
“Ara, ada
masalah apa kamu dengan Viga?”
“entahlah
Pa, Viga meninggalkanku begitu saja”
“cari dia.
Kenapa kamu tidak melihat betapa istimewanya Viga”
“apa yang
papa lihat darinya?”
“sederhana.
Laki laki yang apa adanya tapi smart. Saran papa sih jangan di lepas”
Oh, itu
alasan kenapa papa begitu menyukai Viga. Sederhana tapi istimewa. Ya, aku
sadar. Sepertinya aku yang terlalu sok perfecsionis, sehingga menyebabkan
penampilan kami begitu tidak berimbang. Aku baru sadar, dia begitu fokus dengan
kuliah dan keluarganya. Mana sempat dia mengurusi penampilan kalau uang sakunya
saja habis untuk keperluan kuliah, makan setiap hari dan belum lagi biaya kos.
Betapa bodohnya aku sudah menghakiminya sedemikian.
3 hari, 5
hari, 10 hari sudah kami tidak ada kontak sama sekali. Aku sakit. Sedih. Sendirian
Dan merindukan pacarku. Dimana dia sekarang... L
Ting tong !!
Jam 9 malam.
Pasti mama dan papa sudah pulang.
“langsung
masuk aja maaa, pintunya nggak aku kunci” aku berteriak, karena malas bangun
dari sofa.
Aku dengar
pintu di buka, dan suara seseorang masuk.
“hei”
“Viga!!” aku
terkaget. Dia datang. Tanpa bilang terlebih dulu? Dia datang? Menemuiku?? Ya
ampun. Aku berantakan!!! Tanpa pikir panjang aku berlari ke kamar dan mengumpet
“Araaa!
Ngapain masuk kamar sih. Nggak kangen apa”
“ngapain kesini”
“ya
menemuimu. Masak apelin papa. Keluarlah. Aku bawakan milkshake coklat untukmu.
Ayo kita ngobrol-ngobrol sebentar. Setelah itu aku segera pulang”
Bodohnya
pacarku ini. “Sebentar” dia bilang ? apa dia tidak tau betapa kangen nya aku.
Kami duduk
di sofa depan tv. Dia benar-benar membawa milkshake coklat. Dan sekantong
belanjaan.
“aku dengar
kamu sakit. Udah baikan?”
“udah”
“bagus”
“bagus??”
“ya bagus.
Berarti aku obat mujarab. Hahaa” dengan PD nya lidahnya berkilah.
“kamu kemana
aja? Papa kangen”
“papa atau
kamu yang kangen??”
“aku lebih
kangen lagi”
“ini!” di
berikannya kantong plastik itu. Aku buka. 2 pasang kemeja dan jins baru
“kamu
belanja baju?”
“aku tidak
ingin mengecewakanmu. Kamu suka??”
“astaga!
Lupakan perkataanku kemarin. Aku tidak lagi menginginkan kamu seperti
sempurnanya pacar teman-temanku. Kamu nggak perlu berusaha mengimbangiku lagi.
Maafkan aku. Kamu sudah cukup istimewa dengan menjadi diri mu sendiri. Aku
menyukaimu apa adanya kamu. Seperti apa yang papa lihat dari kamu”
“aku mendapat
job melukis beberapa waktu lalu. Honornya aku kirimkan untuk ibu di rumah dan
sisanya untuk beli baju ini dan milkshake yang kamu minum itu. Ada satu lagi.
Ini ayam bakar untuk makan malamku”
“ayam
bakar?”
“iya.
Bukalah”
Malam itu
kami makan nasi ayam bakar sebungkus berdua. Dia membagi nasinya sama rata.
Tapi dia berikan potongan ayam yang besar untukku. Aku tau, dia harus
pintar-pintar mengatur keuangannya. Harus hemat dan tidak perlu neko-neko.
“kamu
lapar?”
“he.em”
“tau gitu
tadi aku beli dua”
Papa benar,
Viga
istimewa, dan aku tidak akan melepasnya begitu saja. Aku mencintainya. Kini aku
benar-benar menyukai apa adanya ia.
0 komentar:
Posting Komentar